Powered By Blogger

Kamis, 29 Desember 2011

Fenomena Tasyri' Masa Rasulullah dan Berbagai Faktor Sosial yang Melatarbelakanginya

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
            Ketika kita berbicara tentang fenomena, maka akan terlintas dalam pikiran kita bahwa pengertian fenomena sendiri adalah kejadian yang melatarbelakanginya sebuah masalah. Ketika kita mengatakan fenomena Tasyri’, maka dapat dipahami pengertiannya adalah kejadian terbentuknya Tasyri’(Undang-undang).
Tasyri’ secara istilah adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang terjadi dikalangan mereka.[1] Melihat dari makna Tasyri’ tersebut, maka mucul sebuah permasalahan yang sangat perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah agama (Islam) yang berada dalam lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui) dan masyarakat yang hidup penuh dengan kebiadaban dan pelecehan serta belum memiliki sebuah aturan baku untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah Tasyri’.
Tentunya melihat kondisi tersebut, maka Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa periode, mulai dari periode Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabiin dan seterusnya. Akan tetapi dalam makalah ini, kami hanya memaparkan tentang penegakan syariat Islam(Tasyri’) pada periode Rasulullah saja.
Tidak terlepas bahwa berbagai faktor sosial juga menjadi latar belakang turunnya Al-Qur’an. Banyak hal-hal yang menjadi Asbabun Nuzulnya Al-Qur’an sebagai sumber Tasyri’ periode Rasulullah ini. Akan tetapi bukan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an ini diturunkan karena adanya Asbabun Nuzul. Kesesuaian tradisi dan al-quran juga terlihat disana, akan tetapi bukan berarti Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai tradisi orang Arab, karena diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk seluruh umatnya.

Adapun pada periode Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan fase Madinah. Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan Tasyri’ yang dibawa oleh Rasulullah ini. Karena corak kehidupan Mekkah dan Madinah sangatlah jauh berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh dengan hal-hal yang menyimpang dari aturan atau hukum Islam, tentunya bagi masyarakat tersebut sulit untuk menerima hal-hal yang baru dibawa oleh Rasulullah. Sehingga yang pertama kali ditanamkan dalam hati mereka adalah hal-hal yang menyangkut dengan ketauhidan.
Berbeda halnya dengan keadaan masyarakat Madinah yang sangat mudah menerima Islam, bahkan mereka menerima kedatangan Rasulullah dengan senang hati. Sehingga pembentukan tasyri’ pada masa ini dirasa jauh lebih mudah dibanding dengan fase Mekkah, dan pada masa inilah hal-hal yang berkaitan dengan Ibadah, tauhid dan sebagainya menjadi Tasyri’.
Al-Qur’an dan Hadist pada periode ini menjadi sebagai sumber penetapan Tasyri’, kemudian permasaalahan yang muncul adalah keterkaitan dengan ijtihad pada masa ini, apakah ijtihad juga menjadi sumber Tasyri’ saat itu. Maka untuk lebih lengkapnya akan kita bahas pada bab selanjutnya.
Melihat berbagai latar belakang diatas, maka penulis dapat merangkaikan rumusan masalah sebagai berikut:
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Arab sebelum Islam?
2. Bagaimana Tasyri’ periode Mekkah?
3.Bagaimana Tasyri’ periode Madinah?
4.Apa saja Sumber Tasyri’ periode Rasulullah?
5.Bagaimana ijtihad pada Masa Rasulullah?

C.Tujuan Masalah
1. Mengetahui Keadaan Arab sebelum Islam
2. Mengetahui tasyri’ periode Mekkah
3. Mengetahui tasyri’ periode Madinah
4. Mengetahui Sumber tasyri’ periode Rasulullah
5. Mengetahui tentang ijtihad masa Rasulullah
  

BAB II
PEMBAHASAN
A. Bangsa Arab Sebelum Islam
            Bangsa Arab sebelum Nabi Muhammad SAW dating adalah umat yang tidak mempunyai aturan, kebiadaban yang mengendalikan mereka, gelapnya kebodohan yang menaungi mereka dan tidak ada agama yang mengikat mereka, serta tidak ada undang-undang yang dapat mereka patuhi.[2] Akibat dari itu semua jiwa mereka dipenuhi dengan akidah yang batil. Tuhan dihayalkan pada patung yang mereka pahat dengan tangannya sendiri, terkadang pada binatang-binatang yang tampak dan hilang didepan mata mereka.
Mekkah adalah sebuah kota yang sangat penting di negeri Arab, baik karena tradisinya maupun karena letaknya. Kota ini ini dilalui jalur perdagangan yang ramai menghubungkan Yaman di selatan dan Syiria di Utara. Dengan adanya Ka’bah ditengah kota, Mekkah menjadi pusat keagamaan Arab. Ka’bah adalah tempat mereka berziarah. Di dalamnya terdapat 360 berhala, mengelilingi berhala utama, atau hubal. Mekkah kelihatan makmur dan kuat. Agama dan masyarakat Arab ketika itu mencerminkan realitas kesukuan masyarakat jazirah Arab dengan luas satu juta mil persegi.[3]
            Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qathaniyun (keturunan Catan), dan Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim). Pada mulanya wilayah utara diduduki oleh golongan Adnaniyun, dan wilayah selatan diduduki oleh golongan Qahthan. Akan tetapi lama-kelamaan kedua golongan tersebut membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.
            Masyarakat baik nomaden ataupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Mereka sangat suka berperang, sehingga peperangan antar suku sering terjadi. Sikap ini nampaknya sudah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab.
            Dalam masyarakat yang suka berperang tersebut, nilai seorang wanita sangatlah rendah. Situasi ini terus berlangsung sampai agama Islam lahir. Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus menerus. Pada sisi lain, meskipun masyarakat badui mempunyai pemimpin, namun mereka hanya tunduk kepada Syekh atau Amir (Ketua Kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan dan pertempuran tertentu. Diluar itu, Syekh atau Amir tidak memiliki wewenang apa-apa.
            Pada saat itu penganut agama yahudi juga banyak mendirikan koloni di jazirah Arab, yang terpenting diantaranya adalah Yastrib. Penduduk koloni ini terdiri dari orang-orang Arab yang menganut agama Yahudi. Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, akan tetapi bangsa Arab masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk. Demikianlah keadaan bangsa Arab menjelang kebangkitan islam.

B. Tasyri’ Periode Mekkah
            Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan..,[4]
            Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah , karena akidah merupakan fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun bentuknya.[5]sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran yang Turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
            Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada Amat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.
            Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Statu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
            Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor diantaranya yatu :
  1. Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid juga banya ditolak oleh masyarakat Mekkah.
  2. Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri pokok penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting[6]. Mekkah makmur karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia selatan sampai utara dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui jiddah dan afrika. Dan Mekkah adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat mempengaruhi penolakan dakwah Nabi.
C. Tasyri’ Periode Madinah
            Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang.[7]keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula perhubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam baik di waktu damai maupun perang.
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan.[8]oleh karena itu di periode madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) Turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun social. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada Sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi huku-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariat pada periode ini.[9] Pertama adalah : metode Nabi dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat Islam Turun secara global nabi sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Seperti ketika nabi salat para sahabat melihat salat nabi dan mereka mengikutinya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
Kedua adalah: kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri ketika mereka sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula yang disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan yang mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya syariat secara bertahap (periodik). Maksudnya pembentukan kondisi masyarakat yang layak dan Siap dan menerima Islam harus menjadi prioritas yang diutamakan.
D. Sumber Perundang-undangan (Tasyri’ pada periode Rasulullah SAW)
            Penentuan hukum pada periode Rasulullah SAW mempunyai dua sumber[10], yaitu :
1.Wahyu Ilahi (Al-Quran)
            Al-quran adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan ummat manusia. Dalam bahasa “Fazlurrahman,[11] alquran adalah dokumen keagamaan dan etika yang bertujuan praktis menciptakan masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia saleh dan religius dengan keadaan yang peka dan nyata akan adanya satu tuhan yng memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan.
Ketika terjadi sesuatu yang menghendaki adanya pembentukan hukum dikarenakan suatu peristiwa, perselisihan, pertanyaan, permintaan fatwa, maka Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW satu atau beberapa ayat al-quran yang menjelaskan hukum yang hendak diketahuinya. Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam apa-apa yang sudah diwahyukan kepada beliau itu, dan wahyu itu menjadi undang-undang yang wajib diikuti.
Ada karakteristik yang sangat menonjol dari al-quran yaitu, bahwa meskipun al-quran diturunkan dalam ruang waktu tertentu, sebab tertentu, tetapi esensi kalam tuhan tersebut adalah universal, sehingga mengatasi ruang dan waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sasaran alquran dan juga sebab turunnya adalah “kemanusiaan(problematika kehidupan manusia), baik pada masa Nabi, masa kini dan masa seterusnya.
2.Ijtihad Rasulullah (Sunnah)
Sunnah adalah sumber fiqih kedua setelah al-quran. Dalam terminologi muhaddisin, fuqaha dan ushuliyyin, sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, baik perkatan, perbuatan dan ketentuan. Sebagaimana al-quran, sunnah juga tidak muncul dalam satu waktu, tetapi secara bertahap(periodik) mengikuti fenomena umum dalam masyarakat, atau lebih tepat disebut mengikuti perkembangan turunnya syariat. Oleh karena itu dalam banyak hal, kita akan melihat bahwa sunnah bertujuan menerangkan, merinci, membatasi dan menafsirkan al-quran.
Ketika muncul sesuatu yang menghendaki peraturan, sedang Allah tidak mewahyukan kepada Rasulullah ayat al-quran yang menunjukkan hukum yang dikehendakinya, maka Rasulullah berijtihad untuk mengetahui ketentuan hukumnya.
Dan dengan hasil ijtihad itulah yang dipergunakan beliau untuk memutusi hukum sesuatu masalah, atau memberi fatwa hukum atau menjawab pertanyaan atau menjawab permintaan fatwa hukum. Dan hukum yang terbit dari hasil ijtihad beliau itu juga menjdai undang-undang yang wajib diikuti. Setiap hukum yang disyareatkan pada periode Rasulullah SAW itu sumbernya adalah dari wahyu ilahi (al-quran) dan ijtihad Nabi (Sunnah).
E. Ijtihad Periode Rasulullah SAW
Permasaalahan ijtihad pada masa Rasulullah ini terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi ijtihad yang menyangkut dengan kemaslahatan dunia dan pengaturan strategi perang jelas dilakukan oleh Nabi.[12] Mungkin kita masih ingat ketika Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya soal tawanan perang Badar. Di antara para sahabat yang mengutarakan pendapatnya dalam musyawarah itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Abdullah bin Rawahah dan Sa'd bin Mu'adz.
Saat itu Rasulullah saw lebih condong kepada pendapat Abu Bakar yang berpendapat untuk mengambil fidyah dari para tawanan tersebut. Namun setelah itu turun firman Allah swt yang mendukung pendapat Umar untuk membunuh mereka "Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Anfal [8]: 67) 
Dalam Fiqh us-Sirot in-Nabawiah-nya, Prof. DR. M. Said Ramadhan al-Bhuti menjelaskan bahwa kejadian itu menunjukkan terjadinya ijtihad dari pribadi Rasulullah saw. Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya dengan menyatakan bahwa ijtihad Rasulullah saw bisa salah namun tidak kontinyu, karena akan datang wahyu Allah swt yang membenarkannya. Kesalahan itu menurut beliau tidak bertentangan dengan sifat Ishmah (terjaga dari kesalahan) yang dimiliki Rasulullah saw. Sebab kesalahan itu bukan sebuah keburukan, namun hanya sebuah kekurangsempurnaan dalam versi ilmu Allah swt.[13]


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita tarik beberapa kesimpulan secara global, yaitu sebagai berikut:
1.Tasyri’ adalah manifestasi dari lahirnya Islam sebagai agama yang benar dan diridhai oleh Allah SWT.
2.Bangsa Arab para Islam adalah bangsa yang sangat tidak bermoral, sehingga Rasulullah saat itu berdakwah tentang-tentang akidah (periode mekkah)
3.Periode Mekkah adalah periode dimana nabi hanya menjelaskan tentang tauhid dan akidah. Sehingga periode ini dikenal dengan periode penataan akidah.
4.Periode Madinah adalah periode dimana kesempurnaan tasyri’ mulai terlihat, ayat-ayat yang Turín tidak lagi berkaitan dengan tauhid ataupun akidah akan tetapi sudah beralih kepada hal-hal yang mengandung tentang Ibadan.
5.Yang menjadi sumber tasyri’ pada periode ini adalah wahyu ilahi(al-quran) daan ijtihad Nabi (sunnah).
6.Keberadaan ijtihad pada masa Rasulullah masih diperselisihkan, akan tetapi beberapa ijtihad tentang kemaslahatan dunia dan strategi perang terlihat wujudnya pada periode ini.
`          
B. Saran
            Setelah membaca dan menganalisis lebih jauh, maka kami hanya dapat memberikan saran kepada pembaca agar lebih memberikan perhatiannya untuk mempelajari Tarikh Tasyri’ dari periode satu ke periode berikutnya. Karena mempelajari periode-periode Tasyri’  akan memudahkan kita dalam mengetahui hukum.


DAFTAR PUSTAKA

Roibin, Dimensi-dimensi Sosio-Antropologis Penetapan Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, 2010. Malang: UIN Maliki Press.
Asghar  ali engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam, 1999. Yogyakarta: INSIST dan IKAPI.
Yatim, Badri Sejarah Peradaban Islam, 2003. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zuhri, Muhammad Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, 1996. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sirri, Mun’in Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, 1995. Risalah Gusti.
Khallaf, Wahab Terjemahan Khulasah Tarikh Tasyri’ Islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani.
Ali As-sayis, Muhammad Sejarah Fiqih Islam, 2003. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
http://jurnalislam.net/id/images/favicon.ico diakses pada tanggal 21 Maret 2011.
http://alilmu.wordpress.com, diakses pada tanggal 21 Maret 2011.




[1] Khallaf, wahab khulasah tarikh tasyri’ islami, hal: 4
[2] Ali As-sayis, Muhammad sejarah fiqih Islam, hal: 17
[3] Yatim, Badri sejarah peradaban islam, hal: 9
[4] A.sirri, Mun’in, sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, hal: 22
[5] Op.cit, hal: 18 
[6] Asghar ali engineer, asal-usul dan perkembangan Islam, hal: 59
[7] Khallaf, Wahhab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, hal: 10
[8] Zuhri, Muhammad hukum Islam dalam lintasan sejarah, hal: 13
[9] Ibid. sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, hal: 24
[10] Ibid terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, hal: 13
[11] Ibid. sejarah fiqih Islam sebuah pengantar hal:28
[12] Ibid. hal: 28
[13] http://jurnalislam.net/id/images/favicon.ico diakses pada tanggal 21 Maret 2011

Rabu, 28 Desember 2011

Pandangan Masyarakat tentang Hak-hak Reproduksi dalam Keluarga

BAB I
PENDAHULUAN
       I.            Latar Belakang
               Manusia diciptakan selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai berbagai macam hak dan kewajiban. Begitu pula sebagai makhluk sosial, manusia hendaknya dapat menjaga hubungan baik dengan sesama, sehingga menumbuhkan rasa kepedulian sosial.
               Begitupun dalam hubungan suami istri, hendaknya hubungan diantara keduanya dapat memiliki rasa saling menghargai dan menghormati dalam hal kehidupan sehari-hari. Selain dalam masalah ekonomi, mereka juga harus memperhatikan hal-hal lain seperti hak-hak reproduksi dalam keluarga. 
               Dalam hal ini, masalah yang sering terjadi adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasangan usia subur dan remaja akan hak-hak reproduksi. Hak-hak dan kesehatan reproduksi termasuk keluarga berencana (KB) yang merupakan dasar terwujudnya keluarga kecil berkualitas belum dipahami oleh sebagian masyarakat dan keluarga. Sebagian masyarakat, orang tua maupun remaja sendiri belum memahami hak-hak dan kesehatan reproduksi remaja. Masyarakat dan keluarga masih enggan untuk membicarakan masalah reproduksi secara terbuka dalam keluarga. Para anak dan remaja lebih merasa nyaman mendiskusikannya secara terbuka dengan sesama teman. Hal ini disebabkan oleh pemahaman nilai-nilai adat, budaya, dan agama yang menganggap pembahasan kesehatan reproduksi sebagai hal yang tabu. Sementara itu, pusat atau lembaga advokasi dan konseling hak-hak dan kesehatan reproduksi bagi remaja yang ada saat ini masih terbatas jangkauannya dan belum memuaskan mutunya. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah nampaknya juga belum sepenuhnya berhasil. Semua ini mengakibatkan banyaknya remaja yang kurang memahami atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang masalah kesehatan reproduksi. Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak dan kesehatan reproduksi ini menyebabkan banyaknya remaja yang berperilaku menyimpang tanpa menyadari akibatnya terhadap kesehatan reproduksi mereka sendiri.

    II.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pendapat masyarakat tentang hak-hak reproduksi dalam keluarga?
2.      Bagaimanakah isi dari hak-hak reproduksi dalam keluarga?

 III.            Tujuan Penelitian
            Berdasarkan dari rumusan masalah diatas, manfaat penelitian dari  masalah hak-hak reproduksi dalam keluarga diantaranya:
1.      Menambah pengetahuan masyarakat pentingnya hak-hak reproduksi dalam keluarga
2.      Terciptanya keluarga yang sejahtera dengan konsep keluarga berencana

 IV.            Manfaaat
            Dengan mengacu pada pendapat dan pengetahuan masyarakat tentang hak-hak reproduksi dalam keluaarga, maka diharapkan dengan ini masyarakat akan semakin mengerti tentang pentingnya komunikasi dalam keluarga agar hak-hak dan kewajiban dalam keluarga khususnya masalah reproduksi bisa terlaksana.

    V.            Metode Penelitian
            Obyek survey/penelitian yang dilakukan peneliti pada tanggal 27 Desember tahun 2011 yaitu tentang hak-hak reproduksi dalam keluarga diantaranya adalah kepada Ibu-Ibu yang berdomisili di daerah Kelurahan Dinoyo Kota Malang :

Nama                 : Ika Setiawati
Ttl                     : Malang, 14 November 1984
Alamat               : RT: 10 RW: 2 Dinoyo Malang
Pekerjaan           : Guru
                           
Nama                 : Khusnul Khotimah
Ttl                      : Malang, 13 Agustus 1966
Alamat               : RT: 10 RW: 2 Dinoyo Malang
Pekerjaan           : Swasta


Nama                 : Siti Fathonah
Ttl                      : Blitar, 27 Desember 1973
Alamat               : RT: 10 RW: 2 Dinoyo Malang
Pekerjaan           : Swasta
      
               Metode yang peneliti ambil adalah dengan memakai metode wawancara. Wawancara yang dilakukan meliputi masalah-masalah kehidupan mereka sehari-hari khususnya dalam hal hak-hak reproduksi dalam keluarga.
                                                  
 VI.            Sistematika Penulisan
              Dalam mempermudah survey/penelitian ini, maka sistematika penulisan dibagi menjadi tiga bab, yang tiap-tiap bab memiliki pembahasan sendiri sehingga memudahkan dalam pemaparan data. Pada Bab I lebih pada bahan-bahan atau data mentah yang akan diteliti mulai dari latar belakang, rumusan masalah dan manfaat penelitian. Selanjutnya Bab II mengacu pada pemaparan data dan juga analisis sehingga informasi yang didapat bisa diolah. Bab III berisi penutup, kesimpulan dan saran-saran. Sehingga didapatkan hasil yang sistematis dan bisa dijadikan bahan acuan dalam melakukan sebuah penelitian sederhana.

BAB II
PEMBAHASAN
1.   Pemaparan Data
              Agar dalam survey / penelitian yang kami lakukan dapat sistematis, maka dalam hal ini peniliti membuat rangkuman tentang pemaparan data dari hasil survey yang dilakukan kepada narasumber yaitu Ibu Ika Setiawati yang bertempat tinggal di RT: 10 RW: 2 Kelurahan Dinoyo disini sebagai sampel, diantaranya sebagai berikut :

Pertanyaan
Sangat penting
Penting
Tidak penting
Pentingkah menurut anda hak-hak reproduksi dalam keluarga?

ü      


Pertanyaan
Tahu
Ragu-ragu
Tidak tahu
Apakah anda tahu apa itu hak-hak reproduksi dalam keluarga?
ü  


Apakah keluarga anda sudah melaksanakan hak-hak reproduksi dalam keluarga?

ü  

Apakah anda tahu siapa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan hak-hak reproduksi dalam keluarga?

ü  

                         
Pertanyaan
Tahu
Ragu-ragu
Tidak tahu
Apakah anda tahu bahwa hak-hak reproduksi dalam keluarga telah diatur oleh Pemerintah?


ü  
Apakah anda tahu solusi agar hak-hak reproduksi dalam keluarga bisa tercapai?

ü  


2.   Analisis Data
              Dari data-data yang didapat peneliti, terdapat beberapa permasalahan yang tidak terwakili dalam pemaparan diatas, khususnya menyangkut hak-hak reproduksi perempuan, seperti :
a)      Pengabaian hubungan gender
KB berasumsi bahwa hasrat seks laki-laki selalu aktif dan harus selalu dipenuhi perempuan, sedang perempuan sendiri dilihat sebagai penghasil anak yang menghadapi kemungkinan mengandung.
b)     Pembatasan hak perempuan untuk memilih alat kontrasepsi
Tidak lengkapnya informasi yang tersedia mengakibatkan pilihan hanya terbatas pada beberapa metode seperti IUD dan metode hormonal. Cara seperti ini merupakan intervensi panjang terhadap alat reproduksi perempuan (selama beberapa tahun atau bulan) sedangkan perempuan berpeluang untuk hamil hanya selama beberapa jam dalam setiap siklus haid.
c)      Makin mahalnya harga alat kontrasepsi
Sejak munculnya krisis ekonomi tahun 1997, maka harga alat kontrasepsi meningkat pesat. Hal ini mengakibatkan banyaknya ibu hamil yang melakukan cara-cara yang beresiko tinggi untuk menggagalkan kehamilannya seperti : aborsi, minum jamu, pijat, dan sebagainya. Walaupun sekarang sudah banyak alat kontrasepsi yang terjangkau, banyak masyarakat menengah ke bawah yang masih enggan menggunakannya.
d)     Pendekatan target dan akibatnya
Pendekatan target mengakibatkan pemeriksaan medis yang sembrono, informasi yang tidak memadai tentang efek sampingan cara kontrasepsi, pelayanan kontrasepsi yang tidak memandang kebutuhan khusus perempuan.

    BAB III      
PENUTUP
A. Kesimpulan
              Kesimpulan dari peneliti setelah melihat hasil dari survey/penelitian yang dilakukan kepada para ibu rumah tangga dan beberapa bapak yang dijadikan obyek dalam penelitian dengan tema hak-hak reproduksi dalam keluarga diantaranya bahwa mereka mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda-beda sehingga peneliti berkesimpulan bahwa masyarakat masih belum sepenuhnya tahu tentang apa itu hak-hak reproduksi dalam keluarga. Sehingga diperlukan sebuah respon dari Pemerintah, Dinas Kesehatan, ataupun dari Ormas dan LPM agar masyarakat menjadi sadar dan tahu pentingnya hak-hak reproduksi dalam keluarga.
              Selain itu, peran yang sangat penting dalam masalah hak-hak repoduksi adalah peran dari keluarga itu sendiri karena disini keluarga adalah sebuah ruang lingkup yang ditempati dalam kehidupan sehari-hari sehingga bisa menjadi sebuah kontrol akan tingkah laku yang dilakukan anak mulai dati sejak dini. Sehingga peneliti berpendapat bahwa untuk membangun sebuah keluarga yang sadar akan pentingnya sebuah hak-hak reproduksi, maka yang harus dilakukan adalah peran dari keluarga itu sendiri.         

B.  Saran saran
              Setelah melihat hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti selama ini, maka saran yang dapat diberikan peneliti diantaranya :
·         Bantuan kesehatan bagi korban kekerasan sudah ada, namun belum diikuti oleh upaya bantuan hukum (bisa dalam bentuk biaya dan pengacara).
·         Partisipasi masyarakat dalam mendorong kesehatan warga masih kurang.
·         Partisipasi perempuan dalam proses penganggaran belum maksimal. Targetnya utnuk mendorong lebih banyak usulan perempuan terkait dengan peningkatan kesehatan reproduksi.
·         Pemerintah perlu membuat kegiatan kesehatan reproduksi yang beragam seperti kegiatan penyuluhan reproduksi.
·         Pendampiagan hukum pada masyarakat.
·         Upaya mendorong kesadaran warga perlu didukung oleh tenaga penyuluh yang jemput bola.
·         Posyandu bisa dijadikan sarana untuk peningkatan derajat kesehatan reproduksi dan partisipasi masyaraka
                                   
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Dirjen Pembinaan KesehatanMasyarakat, 1996, “Kesehatan Reproduksi di Indonesia”: Jakarta.
Mohamad, Kartono, 1998, “Kontradiksi Dalam Kesehatan Reproduksi”, Pustaka SinarHarapan: Jakarta.
Adrina, Purwandari,K., Triwijati, NKE., Sabaroedin, S.i 1998 "Hak-hakReproduksi" Perempuan Yang Terpasung Pustaka Siiiar Hai-apaii: Jakarta.
Everett, Suzanne. 2007, Buku Saku Kontrasepsi dan Kesehatan Seksual Reproduktif. EGC: Jakarta
Saifudin, Abdul Bar, dkk. 2006 Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Yayasan Bina Pustaka: Jakarta 

Selasa, 27 Desember 2011

Ayat tentang Waris

                                                                   Bab I
                                                Pendahuluan
I.         Latar belakang
            Hukum waris islam adalah salah satu dari obyek yang dibahas dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia selain masalah munakahah dan muamalah. Masalah hukum waris islam ini sangat penting sekali untuk difahami oleh umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak kita ketahui, hukum waris islam di Indonesia sudah mulai ditinggalkan oleh umat muslim. Karena hukum waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Semakin kompleknya hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab hukum waris islam mulai ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas umat muslim sekarang ini menggunakan hukum waris yang umum digunakan dalam masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Qur’an dan juga As-sunnah.
            Aturan tentang waris ini telah ditetapkan oleh Allah melalui Firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an, terutama Surat An-Nisaa’ ayat 7, 8, 11, 12, dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan kewarisan telah sangat jelas maksud, arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah saw melalui hadistnya.
            Timbulnya kebutuhan untuk mengetahui kejelasan ketentuan hukum kewarisan tersebut tidak harus menunggu karena adanya sengketa perkara waris, akan tetapi memang karena dari kesadaran kita sendiri untuk melaksanakan ketentuan hukum waris itu sendiri sebagaimana menurut ketentuan hukum Islam. Mengingat sebagian besar Bangsa Indonesia adalah penganut agama Islam, akan tetapi belum tentu memiliki pengetahuan yang mantab tentang kewarisan Islam.
            Maka dalam makalah ini kami akan mencoba memberikan penjelasan mengenai hukum waris islam dengan menunjukkan ayat-ayat waris yang menjadi dasar hukum waris dan hadits-haditsnya. Dan juga penjelasan mengenai pembahasan hukum waris yang dilakukan oleh para Ulama’ klasik dan modern untuk memberikan jawaban atas permasalahan kontemporer tentang hukum waris yang terjadi dalam masyarakat modern saat ini. 
II.         Rumusan Masalah
1.      Definisi Waris?
2.      Apa sajakah yang menjadi dasar hukum waris dalam Islam?
3.      Bagaimanakah pendapat para Ulama’ klasik dan Ulama’ modern mengenai ayat-ayat kewarisan Islam?

III.         Tujuan Pembahasan 
1.      Untuk memahami arti waris itu sendiri
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar hukum waris Islam
3.      Untuk mengetahui pendapat para Ulama’ klasik dan modern mengenai ayat-ayat kewarisan Islam

BAB II
                                                Pembahasan

A.     Definisi Waris
            Suatu definisi biasanya diutarakan untuk mendalami bidang yang didefinisikan itu. Artinya mempelajari sesuatu, tidak hanya cukup dengan mempelajari definisi sesuatu itu. Demikian juga dengan kewarisan dalam Islam. Definisi yang akan kami uraikan disini hanya memberikan gambaran yang paling sederhana mengenai kewarisan Islam itu sendiri. Sebab, apabila kewarisan Islam akan kita kaji secara mendalam, bahwa ia akan jauh lebih luas daripada hanya sekedar definisi yang akan diuraikan. Namun demikian, suatu definisi selalu perlu dan ada manfaatnya apabila seseorang mempelajari sesuatu. Tidak terkecuali jika seseorang mempelajari kewarisan Islam.
            Dalam beberapa literatur yang membahas hal pokok yaitu hukum Islam, dapat kita temui beberapa istilah yang menyangkut tentang bab yaitu tentang “Mawaris”. Seperti Fiqih Mawaris, Hukum kewarisan Islam dan lain sebagainya.
            Kata mawaris diambil dari bahasa Arab, mawaris adalah bentuk jama’ dari kata “Miiraats” yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya.
            Adapun penggunaan kata mawaris lebih melihat kepada yang menjadi obyek dari hukum ini, yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata mawaris adalah sebuah bentuk plural dari kata miiraast yang berarti maurust atau harta yang diwarisi. Dengan demikian, arti waris yang digunakan dalam beberapa kitab merujuk kepada yang menerima harta warisan itu, karena kata warits artinya adalah seorang pewaris (ahli waris), sedangkan orang yang meninggalkan harta disebut muwarits.[1]
B.      Dasar Hukum Tentang Waris
            Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum Agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat didalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Ø  Yang kita bahas disini pertama kali adalah Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 7
 Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
            Ketentuan di dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukkan bahwa dalam Islam itu, baik laki-laki ataupun perempuan adalah sama-sama memiliki hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subyek Hukum yang memiliki sebuah hak dan kewajiban. Hal ini tidak demikian hal nya dengan di masa Jahiliyyah, dimana perempuan di masa itu dipandang sebagai obyek bagaikan benda biasa yang bisa diwariskan. Seperti contoh anak laki-laki mewarisi Ibu tirinya.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 8

Artinya : “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat[2], anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu[3] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 9
|Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 10
¨Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 11
Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[4] dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[5], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 12
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[6]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.



Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 127
Artinya : “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa[7] yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka[8] dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 176
Artinya : “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[9]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
C.      Pendapat Para Ulama’ Klasik dan Modern Tentang Ayat-ayat Waris
            Di lingkungan praktisi hukum Islam terdapat pola pikir yang beragam, setidaknya hal tersebut tercermin dari pendapat Hasbi Hasan[10] dan H. Taufik[11]. Hasbi Hasan menyatakan bahwa terlepas dari kontroversi pembagian waris dua banding satu atau satu banding satu, tidak berarti penyelesaian perkara waris diberlakukan sikap mendua, namun hakim harus menerapkan asas legisme, hakim harus memutus sesuai hukum yang berlaku, yaitu dua banding satu[12]. Dengan mengkaji ayat-ayat waris dan perbandingan kondisi sosial Arab pra-Islam dengan kondisi sekarang, H. Taufik berkesimpulan bahwa saat ini terbuka kemungkinan memperlakukan persamaan hak kewarisan antara anak laki-laki dan perempuan (mendapat bagian yang sama)[13]. Hukum bersifat dinamis dan berubah sering perkembangan zaman dan pola pikir manusia sehingga kekhawatiran akan dibatalkannya putusan di tingkat yang lebih tinggi harus dikikis.
            Dalam pandangan Muhammad Shahrur, ayat-ayat waris yang bersifat eksplisit merupakan salah satu batasan dari sekian batasan (hudud) hukum syariat yang ditentukan Allah. Otoritas penentuan syariat Islam hanya milik Allah semata, bukan otoritas yang lain, bahkan kepada Nabi Muhammad SAW sekalipun. Sehingga ketentuan hukum yang berasal dari Nabi Muhammad SAW bersifat temporal. Hukum yang bersumber dari Allah SWT bersifat universal, berlaku untuk segala situasi dan kondisi, sesuai setiap waktu dan tempat.
            Hukum Islam pada hakekatnya bertujuan menciptakan kemaslahatan manusia yang sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga selalu diperlukan ijtihad baru. Jangankan perbedaan masa sekarang dengan masa seribu tahun lalu, masa hidup Imam Syafi’i saja memerlukan dua pendapat berbeda (qaul qadim dan qaul jadid)[14]. Karena salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya pembaharuan hukum Islam adalah pengaruh pluralisme sosial budaya dan politik sebuah masyarakat dan negara.


                [1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 5
                [2] kerabat di sini maksudnya : kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda
                [3] pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan
                [4] bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan
                [5] lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi
                [6] seperti: mewasiatkan lebih dari sepertiga harta, berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
                [7] maksudnya ialah: warisan dan maskawin
                [8] Jahiliyah dulu: seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya. kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.
                [9] Seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
                [10] Asisten Wakil Ketua MA RI bidang non yustisial saat ini.
                [11] H. Taufik adalah mantan hakim agung urusan lingkungan Peradilan Agama dan menjabat
Wakil Ketua MA RI pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Ia adalah Wakil Ketua MA pertama
yang berasal dari lingkungan Peradilan Agama.
                [12] Hasbi Hasan, “Pembagian Waris Dua Berbanding Satu (2:1) dalam Perspektif Hadis
Ahkam,” dalam Suara Uldilag, Vol. II 7 September 2006, hlm. 97.
                [13] H. Taufik, Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Kewarisan Syari‟at Islam, dalam Suara
Uldilag, Vol. III No. 8 April 2006, hlm. 7.
                [14] Qaul qadim adalah pendapat Imam al-Syafi’i di Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir,
sedang qaul jadid adalah pendapat Iman as-Syafi’i setelah pindah ke Mesir.