Powered By Blogger

Selasa, 27 Desember 2011

Ayat tentang Waris

                                                                   Bab I
                                                Pendahuluan
I.         Latar belakang
            Hukum waris islam adalah salah satu dari obyek yang dibahas dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia selain masalah munakahah dan muamalah. Masalah hukum waris islam ini sangat penting sekali untuk difahami oleh umat muslim. Akan tetapi seperti yang telah banyak kita ketahui, hukum waris islam di Indonesia sudah mulai ditinggalkan oleh umat muslim. Karena hukum waris islam itu sendiri dianggap sulit untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Semakin kompleknya hubungan kekerabatan atau kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat menjadi salah satu faktor yang menjadi penyebab hukum waris islam mulai ditinggalkan masyarakat, dan mayoritas umat muslim sekarang ini menggunakan hukum waris yang umum digunakan dalam masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Qur’an dan juga As-sunnah.
            Aturan tentang waris ini telah ditetapkan oleh Allah melalui Firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an, terutama Surat An-Nisaa’ ayat 7, 8, 11, 12, dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan kewarisan telah sangat jelas maksud, arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah saw melalui hadistnya.
            Timbulnya kebutuhan untuk mengetahui kejelasan ketentuan hukum kewarisan tersebut tidak harus menunggu karena adanya sengketa perkara waris, akan tetapi memang karena dari kesadaran kita sendiri untuk melaksanakan ketentuan hukum waris itu sendiri sebagaimana menurut ketentuan hukum Islam. Mengingat sebagian besar Bangsa Indonesia adalah penganut agama Islam, akan tetapi belum tentu memiliki pengetahuan yang mantab tentang kewarisan Islam.
            Maka dalam makalah ini kami akan mencoba memberikan penjelasan mengenai hukum waris islam dengan menunjukkan ayat-ayat waris yang menjadi dasar hukum waris dan hadits-haditsnya. Dan juga penjelasan mengenai pembahasan hukum waris yang dilakukan oleh para Ulama’ klasik dan modern untuk memberikan jawaban atas permasalahan kontemporer tentang hukum waris yang terjadi dalam masyarakat modern saat ini. 
II.         Rumusan Masalah
1.      Definisi Waris?
2.      Apa sajakah yang menjadi dasar hukum waris dalam Islam?
3.      Bagaimanakah pendapat para Ulama’ klasik dan Ulama’ modern mengenai ayat-ayat kewarisan Islam?

III.         Tujuan Pembahasan 
1.      Untuk memahami arti waris itu sendiri
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar hukum waris Islam
3.      Untuk mengetahui pendapat para Ulama’ klasik dan modern mengenai ayat-ayat kewarisan Islam

BAB II
                                                Pembahasan

A.     Definisi Waris
            Suatu definisi biasanya diutarakan untuk mendalami bidang yang didefinisikan itu. Artinya mempelajari sesuatu, tidak hanya cukup dengan mempelajari definisi sesuatu itu. Demikian juga dengan kewarisan dalam Islam. Definisi yang akan kami uraikan disini hanya memberikan gambaran yang paling sederhana mengenai kewarisan Islam itu sendiri. Sebab, apabila kewarisan Islam akan kita kaji secara mendalam, bahwa ia akan jauh lebih luas daripada hanya sekedar definisi yang akan diuraikan. Namun demikian, suatu definisi selalu perlu dan ada manfaatnya apabila seseorang mempelajari sesuatu. Tidak terkecuali jika seseorang mempelajari kewarisan Islam.
            Dalam beberapa literatur yang membahas hal pokok yaitu hukum Islam, dapat kita temui beberapa istilah yang menyangkut tentang bab yaitu tentang “Mawaris”. Seperti Fiqih Mawaris, Hukum kewarisan Islam dan lain sebagainya.
            Kata mawaris diambil dari bahasa Arab, mawaris adalah bentuk jama’ dari kata “Miiraats” yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya.
            Adapun penggunaan kata mawaris lebih melihat kepada yang menjadi obyek dari hukum ini, yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata mawaris adalah sebuah bentuk plural dari kata miiraast yang berarti maurust atau harta yang diwarisi. Dengan demikian, arti waris yang digunakan dalam beberapa kitab merujuk kepada yang menerima harta warisan itu, karena kata warits artinya adalah seorang pewaris (ahli waris), sedangkan orang yang meninggalkan harta disebut muwarits.[1]
B.      Dasar Hukum Tentang Waris
            Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum Agama (Islam) adalah nash atau teks yang terdapat didalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Ayat-ayat Al-Qur’an yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Ø  Yang kita bahas disini pertama kali adalah Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 7
 Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
            Ketentuan di dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukkan bahwa dalam Islam itu, baik laki-laki ataupun perempuan adalah sama-sama memiliki hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subyek Hukum yang memiliki sebuah hak dan kewajiban. Hal ini tidak demikian hal nya dengan di masa Jahiliyyah, dimana perempuan di masa itu dipandang sebagai obyek bagaikan benda biasa yang bisa diwariskan. Seperti contoh anak laki-laki mewarisi Ibu tirinya.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 8

Artinya : “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat[2], anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu[3] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 9
|Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 10
¨Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 11
Artinya : “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[4] dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[5], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 12
Artinya : “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[6]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.



Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 127
Artinya : “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa[7] yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka[8] dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya”.
Ø  Al-Qur’an Surat An-Nisaa’ ayat : 176
Artinya : “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[9]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
C.      Pendapat Para Ulama’ Klasik dan Modern Tentang Ayat-ayat Waris
            Di lingkungan praktisi hukum Islam terdapat pola pikir yang beragam, setidaknya hal tersebut tercermin dari pendapat Hasbi Hasan[10] dan H. Taufik[11]. Hasbi Hasan menyatakan bahwa terlepas dari kontroversi pembagian waris dua banding satu atau satu banding satu, tidak berarti penyelesaian perkara waris diberlakukan sikap mendua, namun hakim harus menerapkan asas legisme, hakim harus memutus sesuai hukum yang berlaku, yaitu dua banding satu[12]. Dengan mengkaji ayat-ayat waris dan perbandingan kondisi sosial Arab pra-Islam dengan kondisi sekarang, H. Taufik berkesimpulan bahwa saat ini terbuka kemungkinan memperlakukan persamaan hak kewarisan antara anak laki-laki dan perempuan (mendapat bagian yang sama)[13]. Hukum bersifat dinamis dan berubah sering perkembangan zaman dan pola pikir manusia sehingga kekhawatiran akan dibatalkannya putusan di tingkat yang lebih tinggi harus dikikis.
            Dalam pandangan Muhammad Shahrur, ayat-ayat waris yang bersifat eksplisit merupakan salah satu batasan dari sekian batasan (hudud) hukum syariat yang ditentukan Allah. Otoritas penentuan syariat Islam hanya milik Allah semata, bukan otoritas yang lain, bahkan kepada Nabi Muhammad SAW sekalipun. Sehingga ketentuan hukum yang berasal dari Nabi Muhammad SAW bersifat temporal. Hukum yang bersumber dari Allah SWT bersifat universal, berlaku untuk segala situasi dan kondisi, sesuai setiap waktu dan tempat.
            Hukum Islam pada hakekatnya bertujuan menciptakan kemaslahatan manusia yang sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga selalu diperlukan ijtihad baru. Jangankan perbedaan masa sekarang dengan masa seribu tahun lalu, masa hidup Imam Syafi’i saja memerlukan dua pendapat berbeda (qaul qadim dan qaul jadid)[14]. Karena salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya pembaharuan hukum Islam adalah pengaruh pluralisme sosial budaya dan politik sebuah masyarakat dan negara.


                [1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 5
                [2] kerabat di sini maksudnya : kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta benda
                [3] pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan
                [4] bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan
                [5] lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi
                [6] seperti: mewasiatkan lebih dari sepertiga harta, berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
                [7] maksudnya ialah: warisan dan maskawin
                [8] Jahiliyah dulu: seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya. kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.
                [9] Seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
                [10] Asisten Wakil Ketua MA RI bidang non yustisial saat ini.
                [11] H. Taufik adalah mantan hakim agung urusan lingkungan Peradilan Agama dan menjabat
Wakil Ketua MA RI pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Ia adalah Wakil Ketua MA pertama
yang berasal dari lingkungan Peradilan Agama.
                [12] Hasbi Hasan, “Pembagian Waris Dua Berbanding Satu (2:1) dalam Perspektif Hadis
Ahkam,” dalam Suara Uldilag, Vol. II 7 September 2006, hlm. 97.
                [13] H. Taufik, Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Kewarisan Syari‟at Islam, dalam Suara
Uldilag, Vol. III No. 8 April 2006, hlm. 7.
                [14] Qaul qadim adalah pendapat Imam al-Syafi’i di Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir,
sedang qaul jadid adalah pendapat Iman as-Syafi’i setelah pindah ke Mesir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar