Powered By Blogger

Senin, 26 Desember 2011

Tafsir Hadist Ahkam tentang Wakaf

BAB I
PENDAHULUAN
I.      Latar Belakang
            Manusia diciptakan selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia mempunyai berbagai macam hak dan kewajiban. Begitu pula sebagai makhluk sosial, manusia hendaknya dapat menjaga hubungan baik dengan sesama, menumbuhkan rasa kepedulian sosial serta rasa kesetiakawanan. Karena dalam kehidupan, manusia selalu membutuhkan bantuan dari orang lain.
            Selain itu, manusia diciptakan dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda dan saling melengkapi. Oleh karena itu, dalam Islam dianjurkan untuk melakukan wakaf, hibah serta memberi hadiah sebagai salah satu bentuk taqarrub kepada Allah dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin serta menghilangkan rasa kecemburuan sosial.
            Islam telah mengatur hal-hal tersebut, baik dalam syarat dan rukun maupun dalam pelaksanaannya. Namun dalam kenyataannya masyarakat kita banyak yang belum mengetahui hal tersebut dan melakukan wakaf, hibah serta memberi hadiah sesuai dengan pemahaman mereka. Sebagai umat Islam, kita hendaknya mengetahui dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Qur’an dan hadist, oleh karena itu pengetahuan akan wakaf, hibah dan hadiah sangat diperlukan sebelum kita mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
II.      Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengertian, landasan, rukun serta pelaksanaan wakaf dalam Islam?




BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Wakaf
            Wakaf bentuk jamaknya Auqaaf berasal dari kata benda abstrak (masdar) atau kata kerja (fi`il) yang dapat berfungsi sebagai kata kerja transitif (fi`il Muta`addi) atau kata kerja intrasitif (fi`il lazim), berarti menahan, atau menghentikan sesuatu dan berdiam ditempat. Dalam literature fiqih dapat dikenal juga istilah al-habsu yang artinya menahan[1]. Menurut istilah wakaf didefinisikan sebagai menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusak bendanya dan digunakan untuk kebaikan[2]. Banyak lagi pendapat para ulama tentang wakaf menurut istilah yang  dimaksud  dengan  wakaf  sebagaimana  yang  didefinisikan  oleh  para  ulama  adalah  sebagai  berikut:
1.      Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf  ialah “Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan  kekalnya zat benda dengan memutuskan (memotong) tasharruf (penggolongan) dalam  penjagaannya atas  Mushrif (pengelola)  yang  dibolehkan  adanya.”
2.      Imam Taqiy Al-Din Abi Bakr bin Muhammad Al Husaini dalam kitab Kifayat Al Akhyar  berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah “Penahanan harta yang  memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda (zatnya), dilarang untuk  digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendekatkan diri  pada Allah SWT.”
3.      Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah, “Menahan  harta yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya tidak musnah seketika, dan untuk  penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk mendapat ridha Allah”.
4.      Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan wakaf ialah, menahan harta  yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekalnya zatnya dan menyerahkannya  ke tempat-tempat yang telah ditentukan syara’, serta dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya itu.
            Definisi tersebut digali dari riwayat Ibn Umar yang menuturkan bahwa Umar pernah mendapat harta sangat berharga berupa kebun kurma di Khaibar dan Umar ingin menyedekahkannya. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah, Rasul menjawab :

Artinya : Dari Ibnu ‘Umar r.a. beliau berkata: ‘Umar mendapatkan tanah di Khaibar, lalu beliau mendatangi Nabi saw untuk meminta fatwa tentang tanah tersebut, seraya berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya tidak mendapat harta yang lebih berharga bagi diri saya dibanding sebidang tanah tersebut. Lalu Rasulullah saw bersabda: jika kamu mau, tahanlah pokoknya lalu sedekahkan hasilnya. Kata Ibnu ‘Umar: Lalu ‘Umar menyedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanahnya tidak dijual, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan. Lalu beliau sedekahkan hasilnya kepada fakir-miskin, keluarga-keluarga terdekatnya, untuk memerdekakan budak, sabilillah, ibnus sabil dan tamu. Tidak ada halangan bagi pengelolanya untuk memanfaatkan sebagian hasilnya dengan cara yang baik, boleh dia berikan kepada temannya, dengan tidak mengambil harganya. (Muttafaq ‘Alaih). Susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat al-Bukhari: Beliau sedekahkan pokoknya, tidak dijual dan tidak dihibahkan, tetapi diinfaqkan hasilnya.

Artinya : Jika manusia mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak salih yang mendoakannya. (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Beberapa Ketentuan Tentang Wakaf
            Wakaf termasuk muamalah yang bukan akad, melainkan tasharruf. Muamalah itu ada dua jenis. Pertama: muamalah yang kehendaknya berasal dari kedua pihak. Muamalah jenis ini disebut akad. Kedua: muamalah yang kehendaknya hanya berasal dari satu pihak. Muamalah jenis ini disebut tasharruf, seperti sedekah dan wakaf. Di dalam tasharruf ini tidak perlu ijab-Qabul.
Wakaf harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.      Al-Waqif: yaitu pihak yang mewakafkan. Wakaf, sebagaimana sedekah, merupakan bentuk taqarrub kepada Allah sehingga pelakunya harus Muslim. Karena itu, tidak boleh menerima wakaf dari non-Muslim. Al-Waqif itu haruslah orang yang sah melakukan tasharruf yakni balig, berakal dan sah mengelola harta. Karena wakaf hakikatnya adalah mengeluarkan harta dari kepemilikan, maka al-waqif haruslah pemilik sah harta yang diwakafkan. Dilihat dari sisi ini, jika seseorang mendapat harta dengan jalan yang haram, ia tidak boleh memanfaatkan atau membelanjakan harta itu; sekalipun untuk kebaikan, termasuk wakaf. Jika ia mewakafkannya maka ia berdosa. Al-Waqif tidak harus atas namanya sendiri. Ia boleh mewakafkan harta atas nama orangtua atau kerabat yang sudah meninggal.
2.      Al-Mawquf (al-Mawquf ‘alayh), yaitu harta yang diwakafkan. Sering disebut al-waqf (wakaf). Harta ini haruslah harta yang halal zatnya dan halal diperjualbelikan. Selain itu, harta tersebut haruslah harta yang zatnya bertahan lama, yakni jika diambil manfaatnya, zatnya masih bertahan. Jika zatnya habis seiring pemanfaatannya, seperti makanan, minuman, wewangian, uang dan semisalnya, maka harta seperti ini tidak bisa diwakafkan.
3.      Shighat (redaksi) wakaf. Wakaf bisa dilakukan dengan perkataan, misal dengan mengatakan, “Ini saya wakafkan untuk…” Jika dalam bahasa Arab bisa menggunakan lafazh waqafa, habbasa atau sabbala, bisa juga dengan kata lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah wakaf. Menurut para ulama, wakaf juga bisa dilakukan dengan perbuatan, misalnya membangun masjid, lalu dikumandangkan azan untuk shalat berjamaah secara umum atau untuk shalat Jumat, maka secara syar‘i masjid itu telah berstatus wakaf. Dalam hal ini, hendaknya dipersaksikan, dilaporkan atau dicatatkan kepada hakim.
4.      Al-Mawquf ilayh (pihak yang menjadi tujuan wakaf). Wakaf boleh diberikan kepada kerabat atau anak keturunan dan disebut waqfu adz-dzuri, boleh juga untuk selain kerabat misal untuk kaum fakir miskin, ibn sabil dsb; atau untuk kebaikan secara umum atau untuk kepentingan tertentu (misal, masjid, pendidikan, makam, jalan, dsb). Wakaf demikian disebut waqf al-khayri.
Pengelolaan Harta Wakaf
            Setelah diwakafkan, harta itu sudah keluar dari kepemilikan al-waqif dan berubah menjadi milik Allah atau kaum Muslim secara umum. Dalam hadis tentang wakaf Umar di atas jelas bahwa harta wakaf itu tidak bisa atau tidak boleh dijual, dihibahkan ataupun diwarisi. Artinya, harta wakaf itu harus tetap menjadi harta wakaf selamanya, haram dimiliki secara pribadi oleh siapapun.
            Namun, sesuai hadis di atas, orang yang mengurus harta wakaf itu boleh makan darinya menurut kepatutan. Ia boleh memberi makan temannya dari hasil harta wakaf itu. Namun, ia tidak boleh memiliki harta wakaf tersebut. Pengurusan harta wakaf oleh orang itu hakikatnya merupakan amanah agar harta wakaf itu tetap bisa diambil manfaatnya, tidak hilang, rusak atau habis.
            Adapun mengubah harta wakaf bisa terjadi dalam dua bentuk. Pertama: mengganti bentuk harta karena adanya keperluan, karena harta itu tidak bisa secara langsung dimanfaatkan untuk tujuan wakafnya. Misalnya, wakaf tanah untuk jihad, maka tanah itu bisa dijual dan dibelikan sesuatu sebagai gantinya yang bisa digunakan di dalam jihad. Dalam konteks ini bisa juga mengubah sekaligus memindahkan tempat harta wakaf itu. Umar bin Khathab pernah memerintahkan Saad bin Abi Waqash, ketika menjadi wali di Kufah, untuk memindahkan Masjid Kufah yang lama ke tempat lain dan membangun Baitul Mal di sebelah kiblat masjid. Lalu tempat masjid lama itu diubah menjadi pasar bagi pedagang kurma. Kedua: mengubah harta wakaf untuk kemaslahatan yang lebih. Umar dan Utsman, misalnya, pernah merehab dan memperbesar Masjid Nabawi. Apa yang dilakukan Umar di atas atau perombakan Masjid Nabawi oleh Umar dan Utsman itu diketahui oleh para Sahabat dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya. Hal itu menujukkan adanya Ijma’ Sahabat akan kebolehan hal itu.
           


[1] Zaini Abdul Malik dan Lalu Rus`an Sujak:2001
[2] K.H. Didin Hafidhuddin.2003:120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar